Cerpen" Rasamu Tak Cukup"
Rasamu Tak Cukup
Sore itu sosok yang tak kukenal berdiri di depan pintu
perumahan guru yang kutempati. Dengan wajah bingung aku mempersilahkan lelaki
itu untuk masuk dan duduk di kursi teras rumah.
“ Maaf Pak, ada keperluan apa?” tanyaku dengan penuh
hati-hati.
“ Maaf Bu, mengganggu waktu ibu(,)" katanya sambil
menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan.
“ Saya, seorang petugas statistic untuk wilayah kecamatan
sini, sementara ini masih melakukan survey, saya masih baru jadi belum mengenal
daerah, apakah saya bisa minta bantuan ibu jika saya mengalami kesulitan?”
katanya dengan wajah penuh pengharapan.
“ InsyaAllah Pak, sesuai kemampuan saya," (j)awabku
sambil tersenyum, berusaha untuk ramah terhadap tamu.
Sore
itu adalah awal kedatangannya ke rumahku. Selanjutnya dengan berbagai alasan
yang menurutku sengaja dibuat-buat agar dapat bertamu.
Lelaki itu Usianya sekitar 5 tahun di atas usiaku,
berperawakan yang cukup ramping, wajah kebapaan, berambut ikal dan tampilannya sangat sederhana. Namun gaya
bicaranya sangat ramah dan santun, mungkin kaarena pekerjaan yang selalu
berhubungan dengan orang banyak sehingga mempunyai kemampuan mudah mempengaruhi
orang lain dengan kata-kata.
Aku seorang guru yang belum lama terangkat sebagai PNS. Di
desa hanya aku yang masih gadis, namun sudah menjadi PNS. Semua teman guru di
sekolah tempat mengajar sudah memiliki pasangan dan bahkan sudah memliki anak.
Banyak lelaki baik bujang maupun duda yang berusaha menarik perhatianku, bahkan
ada yang sudah melapor ke ataasan tentang niatnya untuk melamar. Rasanya lucu,
urusan yang pribadi dicampur aduk dengan urusan dinas. Namun aku selalu menjaga
hati, bagiku keluarga yang sangat penting. Aku masih mempunyai adik-adik yang
harus di sekolahkan dan kedua orang tua yang harus dibahgiakan.
Waktu terus berlalu, lelaki ini tidak pernah jenuh untuk
mendekatiku. Dia selalu berusaha mendekati keluargaku. Terhadap kedua orang
tuaku dia sangat hormat, terhadap adik-adikku dia sangat perhatian. Ada saja
makanan yang dibawah ketika berkunjung. Jika dia mau menghadiri pesta, pasti
minta ditemani dan berpamitan langsung kepada orang tuaku. Langkahku semakin
terbatas, kemana pun harus bersama, seolah-olah dia ingin mengatakan kepada
semua orang bahwa aku sudah menjadi miliknya. Padahal tidak pernah sekalipun
lelaki ini mengatakan cintanya. Semua hati telah tercuri.
Sungguh luar biasa ...!
Hingga, suatu hari dia mengatakan akan melanjutkan
pendidikan ke pulau seberang. Selama 4 tahun aku diminta menunggu. Apa yang
akan aku tunggu? Sebuah janji? Atau sebuah luka? Berapa lama aku akan
menghitung hari? Sangat lama…
“Dek, nanti Bapak akan datang mengambil barang-barang, untuk
sementara titip di sini," ujarnya sambil merapikan bawaannya.
Ada beberapa barang
yang belum sempat dibawa karena hanya menggunakan kenderaan roda dua.
Hari ini dia akan menuju ibu kota propinsi untuk
menyelesaikan berkas-berkas yang akan dibawah ke pulau seberang. Aku melepas
kepergiannya entah dengan perasaan enta bagaimana, aku sendiri tidak bisa
mengerti apa yang aku rasakan. Kesedihan? rasanya sangat datar.
Entah berapa purnama setelah kepergiannya. Aku masih tetap
dengan kesibukan mengajar, melatih pramuka dan kegiatan tambahan lainnya.
Malam itu, ketika aku sampai ke rumah dari perjalanan dinas.
Suasana sedang pemadaman listrik,
penerangan sangat temaran. Kutemui sosok lelaki paruh baya sedang duduk di
kursi dengan posisi kaki ditekuk dan dinaikan ke atas kursi. Aku menatap papa
yang sedang duduk di depan lelaki paruh baya. Papa seakan mengerti tatapanku,
papa memberitahuku bahwa lelaki paruh baya ini adalah orang tua dari lelaki
yang telah menitipkan sebuah janji untuk
pergi ratusan hari. Aku tak tahu dari
mana lelaki paruh baya ini mengetahui alamat tempat tinggalku atau mungkin
anaknya sudah menjelaskan.
Selama 2 hari lelaki paruh baya ini menginap di rumahku. Dia
tak banyak bicara. Papa yang selalu berusaha untuk mengajaknya berbicara, namun
tanggapannya sangat dingin. Tatapan mata penuh selidik, menelisik setiap sudut-sudut
rumah yang kami tempati. Memang kami belum mempunyai rumah. Selama ini orang
tuaku hanya focus untuk membiayai kuliah dan sekolah adik-adikku. Semua upah
yang papa dapatkan sebagai buruh bangunan hanya disisakan sedikit untuk makan,
selebihnya untuk kebutuhan sekolah anak-anaknya. Rumah yang kami tempati
sekarang hanyalah sebuah perumahan guru yang sangat sederhana beratap rumbia
dan berlantai tanah. Aku mengerti dan
sangat mengerti dengan tatapan itu. Kami tidak setara. Akhirnya lelaki paruh
baya itu kembali tanpa membawa pergi barang-barang anaknya. Aku tak mengerti
apa maksud kedatangannya.
Hampir setiap bulan aku menerima surat dari lelakiku. Dia
banyak bercerita tentang keadaan tempat tinggal dan proses kuliahnya. Surat
yang ditulis sampai berlembar-lembar, dia sangat pandai menyusun kata-kata
sehingga aku merasa bukan surat yang sedang kubaca tapi sedang mendengar dia
yang bercerita. Setiap Pak pos datang, teman guru lain mulai membullyku dengan
mengatakan berapa banyak kertas surat yang dibutuhkan untuk menulis surat
selama 4 tahun? Aku hanya tersenyum ringan tanpa tahu takdir ini membawaku
kemana.
Entah sudah surat keberapa yang telah kuterima dan akhirnya
hati ini berubah. Bukan karena telah lelah menunggu, namun pertanyaan yang dia
lontarkan membuatku menyadari bahwa restu itu tidak akan pernah hadir. Lelakiku
menanyakan bagaimana menurutku tanggapan orang tuanya terhadap hubungan kami.
Bagiku ini pertanyaan yang harus disampaikan kepada orang tuanya. Akhirnya aku
membalas suratnya dan merupakan surat terakhir yang aku kirimkan. Aku
mengatakan dengan tegas,
“Tak peduli berapa lama aku harus menunggu, tapi jangan
mengirim surat untukku kecuali ada kata restu dari orang tuamu.”
Ketika menjalin hubungan janganlah memberikan seluruhnya
hatimu kepadanya, karena jika hubungan itu berakhir hatimu akan sakit, namun
berikan separuh saja agar ketika dia pergi kau masih punya separuh hati untuk
melanjutkan hidup. Walau merasa kecewa namun hati ini tak patah. Untuk apa
mempertahankan seseorang yang tidak mau memperjuangan hatinya. Dia dengan gigih
berusaha mendapatkan hatiku namun tidak sanggup untuk meyakinkan orang tuanya
tentang cinta yang dia miliki. Dan bagiku itulah takdir.
Tahun berlalu, kehidupan pun terus berjalan. Tak terasa
sudah 4 tahun berlalu. Aku sudah menemukan pasangan halal dan memiliki seorang
putri yang sangat cantik dan kini sudah berusia 3 tahun. Aku sudah pindah ke
Ibukota propinsi karena mengikuti tempat tugas suami sebagai tenaga kesehatan
pada salah satu Rumah Sakit di Ibu kota propinsi.
Pada satu siang ketika aku pulang dari suatu kegiatan,
ketika memasuki rumah aku melihat sosok lelaki yang menghilang 4 tahun lalu.
Dia duduk di ruang tamu sedang berbincang-bincang dengan suamiku.
“Asalamualaikum…..!” Aku mengucap salam dan melangkah
memasuki rumah dengan bingung. Dalam hati muncul berbagai pertanyaan, mengapa
dia kembali? Untuk apa?
“Waalaikumsalam….” kedua lelaki secara bersamaan menjawab
salamku.
Aku meraih tangan suami dan menciumnya, mataku menatap
lelaki di depanku dengan perasaan bingung.
“ Bu, ini ada temannya sudah agak lama menunggu," ujar
suamiku.
Aku menduduki kursi
disebelah suamiku, dan suamiku pamit untuk berlalu meninggalkan kami
berdua. Aku bingung harus memulai dengan topik apa.
Begitu banyak serangan kata suami dan terkesan jadi
pemborosan kata juga bertele-tele.
“ Aku sudah lama mencarimu.“ Akhirnya lelaki itu memulai
pembicaraan.
“Apa kabar, Dek,” sapanya sampil menatapku
“Baik, seperti apa yang kakak liat sekarang," kataku
sambil mengalihkan pandangan ke tempat lain.
Aku berusaha untuk tidak melihat langsung ke dalam matanya
yang selalu berusaha menatapku, entah apa yang dia inginkan. Tiba-tiba rasa
marah muncul ketika teringat ketidak tegasannya atas hubungan kami dulu dan
kini kembali mencariku.
“ Apa maksud Kakak datang ke sini?” kataku membentak.
Mengapa terus mencariku?
“Kakak terlalu naif, hubungan apa yang ingin kakak bangun
setelah menyakitiku?" cercaku semakin garang.
Aku berusaha menahan emosi, bukannya aku masih mengharapkan
atau masih ada cinta dihati ini, namun aku sangat membenci laki-laki yang tidak
mempunyai prinsip.
“Maafkan aku,” katanya dengan suara yang sangat lirih.
“Aku bersalah
terhadapmu, hidupku tidak akan tenang sebelum mendapatkan maaf darimu,” katanya
sambil menundukkan kepala
“Sudahlah Kak, aku sudah memaafkanmu sebelum maaf itu kakak
ucapkan,” kataku dengan suara pelan.
“Pergilah Kak, waktu kita sudah selesai, mohon jangan temui
aku lagi apapun alasannya, aku tak ingin menyakiti orang yang mau
memperjuangkan cintanya.”
Akhirnya lelaki itu pulang, aku menatap punggungnya yang
kian menjauh. Rasa itu butuh perjuangan jika ingin memiliki.
Terharu saya Bu... Tentang perasaan ini... Saya jadi baper....
BalasHapusKeren sekali cerpennya, hebat penulisnya
BalasHapus